Mitos Munculnya Api
OLEH: Frans Bobii
Bukan
cerita belaka, adalah sebuah kenyataan yang dialami dan merupakan mitos yang sangat sacral dirasakan
oleh etnik Mee yang berdiam di wilayah perbatasan etnik Mee dan etnik Yerisyam
di pesisir pantai Nabire, tepatnya Debaakebo menjadi tempat penyebaran sumber
Api di seluruh pelosok Meuwodide.
Suatu
waktu hiduplah dua orang bersaudara di wilayah Waysai, Menou. Kakaknya bernama
Geimu dan adiknya bernama Ogeimu. Kedua bersaudara ini menekuni berburuh merupakan
matapencaharian sehari-sehari, Sebagai
manusia purbakala.
Dalam hutan belukar, seluruh buruan selalu
dikonsumsikan apa adanya, tak dimasak (makan mentah). Apalah daya tak mengenal api untuk mengolah makanan yang
merupakan hasil buruan mereka. Begitulah kesukaran hidup. kondisi yang
dirasakan dan dialami berkakak adik, yakni Geimu Kedeikoto dan Ogeimu
Kedeikoto.
Ilustrasi Api |
Tak sadar, dirinya
terinspiasi untuk mengambil daun-daun kering masuk dalam percikan/ barah yang
sedang berasap. Dan muncullah api yang bernyala besar.
Selanjutnya Geimu
mencoba meletakkan hasil buruan tersebut diatas api yang bernyala besar.
Setelah terlihat masak ia mengkonsumsikan ternyata nikmat/enak.
Dirinya belum memahami
api itu bermakna untuk apa. Sebelumnya tak diketahui makna api, makanan yang dikumpulkan dikonsumsikan/
dimakan menta. Inilah sebuah cerita asal usul dan penemuan Api, dimasa purkala
yang kini menjadi mitos bagi etnik Mee.
Setelah mengalami dan
menyelami peristiwa teristimewa itu, Geimu hendak berpaling ke rumah, namun
dipertengahan jalan terdengar bunyi tebang kayu, ternyata adiknya Ogeimu sedang
membuat perahu dan sudah jadi bentuk perahu.
Setiba dimana Ogeimu membuat perahu langsung tarik perahu dan Ogeimu menyampaikan
pesan sambil tarik perahu “Iyei-yeida Akano Akado”.
Usai menyampikan pesan
tersebut Ogeimu melemparkan se-untas tali yang sudah di pintal (puutu
iyee gakimimakita). Diakhir kata-kata perpisahan Ogeimu menghilang
entah kemana perginya.[1]
Hingga saat belum ada cerita mitos bagi adiknya bahkan keturunanpun belum di getahui.
Sepulang dari kejadian
tersebut sesampaikan di rumah Geimu membakar hasil buruannya dengan api yang
ditemukan di gunung Debaakebo.
Beberapa lama kemudian ia
naik ke sebuah kampung yang di huni oleh marga Magai, disana ia masuk di rumah kepala suku. Namun saat itu tak ada pemilik
rumah/tuan rumah. Dipetang hari datanglah sang pemilik rumah sambil membawa hasil buruan (babi, Kuskus). Geimu memperhatikan tuan rumah cara
makan dan memotong babi, diambil jantungnya sedangkan dagingnya hendak dibuang.
Namun Geimu menawarkan kalau ada cara lain untuk memasak daging buruan itu.
Setelah itu Geimu
mengambil Beko dan Mamo yang sudah disiapkan sebelumnya dari noken, dan mencari dedaunan kering untuk
mengalasnya. Selanjutnya Beko di tindis
dengan Mamo diatas daun kering. Lalu Geimu menindis ujung Mamo ditindis dengan
kaki dan kedua ujung Beko dipegang dengan tangan. Akhirnya hasil gesekan Beko
dan Mamo keluarkan asap api dan memunculkan bara api.
Selanjutnya setelah
menjadi api, hasil buruan kepala suku Magai di masak dengan api yang di
hasilkan oleh Geimu. Keesokan harinya kepala Suku Magai memberitahukan/mengumumkan
kepada warganya kalau kita sudah diberikan api oleh Geimu. kepala Suku meminta
agar warganya mengumpulkan kekaya mereka
(manik-manik dan seorang gadis) sebagai balas jasa atas pemberian Beko dan Mamoo
sebagai sumber api. Manic-manik yang diberikan oleh warga Magai merupakan balas
jasa atas kehadirannya untuk memperkenalkan api sedangkan, BEKO dan MAMOO sebagai
alat pembayaran mas kawin, atas pemberikan seorang gadis yang dijadikan istri
Geimu itu.
Setelah mengambil
sejumlah kekayaan yang diberikan termasuk gadis, kembali ke kampung Waysai.
Hasil perkawinan antar kedua mempelai Geimu Kedeikoto dan Mama Magai tersebut
belum diketahui berapa anak turunannya. Tidak sampai disitu, namun ia berhijrah
ke timur melintasi gunung Wayland (Kobouge) hingga tiba di kampung Epomani
(Beduu). Yang kerap kali di sebut dengan kampung Siriwo. [2]
Entahlah berapa lama
perjalanan yang ditempuh hingga tiba di Epomani. Di situ ia bertemu dengan
marga Uwiya. Disana juga ia menyebarkan api. Kondisinya sama bahwa warga
setempat tidak mengenal api sehingga semua hasil buruan dimakan mentah. Geimo
pun segera memperkenal api kepada warga Epomani. Disitupun ia beristri dengan marga Uwiya.
Hasil perkawinannya belum, namun sempat memiliki anak.
Tak lama kemudian ia
meninggalkan istri dan anak-anaknya, ia melanjutkan perjalanan kearah timur tenggarah,
tiba di wilayah Ipiga (Beduu). Di situ ia juga bertemu dengan marga yang belum
diketahui. Di Ipiga juga Geimu memperkenalkan api kepada warga Ipiga. Di situ ia kawin dengan seorang gadis
marga Donei. Hasil perkawinannya dikaruniakan seorang anak laki-laki yang
diberi nama Dumapa. Selanjutnya nama
Dumapa menjadi marga Dumapa hingga kini.
Setelah hidup beberapa
tahun di Ipiga, anak sulung Dumapa bersama istriknya ditinggalkan dan berhijrah
kearah timur tepatnya di Mugu-Mugu tembus ke Obano, dan menetap di Degeta. Di
Obano ia kawin dengan seorang gadis marga Pigay. Hasil perkawinannya menurunkan
5 orang anak laki-laki. Dari cerita perjalanan api yang betul dihayati oleh
anak bungsunya yang bernama DIIYEPAI KEDEIKOTO, yang beristrikan marga
Pigai.
Sesuai cerita Geimu ayahnya, di wilayah Mapia ada saudara
lain ditinggalkan di Mapia. Untuk mencari tahu tetuah ayahnya ia bersama istri
menelusuri jejak ayahnya kembali ke Mapia. Sementara 5 saudara lainnya
ditinggalkan disana (Obano). Sesampai di Ipiga, ditemui Dumapa, ternyata oleh
warga Ipiga dijadikan marga yang sekarang dikenal marga Dumapa di lembah Kamuu.
Perjalanan terus
dilanjutkannya dari Ipiga, berbelok kearah Bomomani, menelusuri lereng gunung
Wayland, hingga sampai di kampung Toubay. Disana DIYEPAI Kedeikoto menetap dan
dikaruniai 2 orang anak laki-laki. Sesampai di Toubay diketahui bahwa marga
Kedeikoto yang ditinggalkan oleh Geimu di Waysai, Menou ternyata sudah menyebar
hingga di Kampung Toubay dan sekitarnya.
Guna mencari tahu kebenaran atas keberadaan populasi marga Kedeikoto di
Menou ternyata sudah cukup banyak. [3]
GEIMU berasal dari bahasa
Mee logat Mapiha” GEI= sebutan wilayah Kamuu, Tigi dan Paniai oleh orang Mee asal
Mapiha. Sedang Muu= tunas yang sedang tumbuh. Maka di jelaskan bahwa Api akan
diperkenalkan kepada orang-orang Mee yang berdiam di Kamuu, Tigi dan
Paniai. Debaakebo adalah tempat
menemukan asap api yang berasal dari gesekan dua dahang kayu, yang selanjutnya
menjadi api di seluruh pelosok wilayah Meuwodidee. OGEIMUU=berasal dari dua
kata yakni; OGEI dan MUU secara harafiah OGE
artinya daerah yang tak bisa dijangkau oleh manusia karena hutan belantara atau
tidak ada penghuni/penduduk. Misalnya antara pesisir dan pegunungan. MUU
artinya tunas yang sedang bertumbuh kearah OGE.
IYEI-YEIDA AKANO-AKADOO
mengandung artinya IYE= 9 (Sembilan) YEIDA= tahapan. Maka simpulkan bahwa kita
akan bertemu pada generasi ke Sembilan. Dan akan melakukan pesta peristiwa
penemuan kembali atas perpisahan kedua bersaudara yakni; GEIMO dan OGEIMO
[3] DIIYEPAI… diangkat
dari sebuah nama kolam atau sumur alam yang ada di Obano, tepatnya di Degetaa.
Tempatnya hingga saat ini dikeratkan oleh warga setempat. Sumber Bernardus
Kedeikoto,S.Ag, Nabire 13 April 2014. Gunung Wayland, oleh suku Mee yang
berdiam di Mapiha menyebut Gunung Kobouge. Gunung yang melintasi/ membatasi
antara suku-suku dari pesisir Pantai dan manusia Suku Mee di wilayah Meuwodide.
BEKOO,
adalah belahan kecil dari bambo (tenei, idée) yang dijadikan sebagai alat gesek
Mamoo.
Sedangkan MAMOO adalah kayu khusus yang digunakan sebagai alas untuk
melakukan gesekan dari Beko yang akan menghasilkan api. Ipiga nama sebuah
kampung yang berada di antara Bedu dan Degeewoo. Degeuwoo bermuara dari kampung
Bomomani, yang bersumber di kampung Ekagokunu, tepatnya ujung lapangan terbang
Bomomani. Bomomani adalah ibukota Distrik Mapiha. Kini distrik ini sudah
dimekarkan menjadi 4 Distrik diantaranya, Distrik
Mapiha Barat, Mapiha Timur, Mapiha Tengah dan Mapiha
Selatan. Toubay salah satu kampung di puncak gunung Tatoupa,
Waysai, adalah sebuah kampung tempat
asal usul marga Kedeikoto, yang kini berkembang menjadi Distrik Menou dari
Kabupaten Nabire, Papua.
Kedeikoto mengandung arti harafiah, Kede=
Dasar, inti, I= kebenaran, Koto= jembatan/penghubung.maka
disimpulkan sebagai berikut Kedeikoto diartinya sebagai dasar yang dapat
menghubung antara kebenaran.
Category: MITOS, TIGIDOUTOU
0 komentar