Tokoh Indonesia. FOTO; Ils
PEMERINTAH dan pelaku politik praktis Indonesia  sudah lama menjadikan konsep Papua merdeka sebagai issue politik yang tepat  guna mereka merebut kekuasaan empuk di Negara Indonesia. Masalah Papua Merdeka tidak hanya dibicarakan kalangan tertentu di negara ini, akan tetapi pembahasan panjang hingga di dunia internasional. Negara Indonesia merdeka, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, sampai tahun-tahun terakhir, isu ini selalu menjadi sejumlah agenda agar pulau Papua tetap berintegrasi.

Ada beberapa hal yang harus di ketahui oleh rakyat Papua, khususnya para politisi Indonesia asal Papua, kalangan kaum tertindas, para pejuang, kalangan akademisi, bahwa. Isu Papua merdeka  selalu dijadikan suatu mof politik untuk mendapatkan/kemenangan. Sebab mereka merasa bahwa, jika  berkampanye dengan agenda isu politik maka akan menyedot perhatiannya rakyat Papua. 

Contohnya beberapa kali Calon gubernur di tanah Papua, selalu mengedepankan isu Papua merdeka, namun setelah terpilih melupakan isu yang di jual kepada warga pemilik hak suara. “saya berjuang karena menggingat tulang-belulang warga sipil Papua yang mati  memperjuangkan kemerdekaan,”tutur seorang calon gubernur periode berjalan ini, di panggung kampannyenya di tanah Papua. 

Berbagai adegan politik selalu mengatasnamakan isu “konsep”papua merdeka oleh orang Papua maupun Pemerintah Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Presiden Indonesia siapapun ataupun gubernur Papua siapa tidak akan memperjuangkan hak-hak dasar warga sipil Papua sebagai hak asasi yang mendasar. Sebab itu yang bisa memerdekan Papua adalah orang Papua/warga sipil sendiri yang memiliki sikap, perilaku, tata karma, dan memahami krakter dan pengalaman hidup serta sejarah perjuangan orang Papua. 

Terkesan banyak orang Papua belum memahami, mengerti ideology ke-Papua-an, artinya perasaan, jiwa, sikap, warga sipil yang berkehendak luhur untuk keluar dari cengkreman atau ke-indonesia-an, belum dipaham baik oleh para elit politik Papua sendiri. Bahkan isu atau kehendak luhur warga sipil Papua yang murni dan luhur  dijadikan sebagai sebuah isu guna mendapatkan sesuatu. 


INDONESIA PAHAM KELEMAHAN ELIT ORANG PAPUA

Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat Papua (alias Pepera) tahun 1969, dilaksanakan seluruh persada bumi Papua. Indonesia memahami karakter orang Papua, bahwa siapa yang di tokohkan berbicara maka seluruh warganya akan mendengar mereka. Konsep ini sebagai dasar dan mengambil beberapa orang Papua bawa ke Jakarta untuk menentukan penetuan itu. Disana (Batavia), tidak dilaksanakan demokrasi penentuan atau one man one food, tetapi disodorkan dengan sejumlah material untuk meredam. 

Proses pembangunan dan pemerintah di tanah Papua terus berjalan, tak kalah isu kemerdekaan diwarnai dengan berbagai aksi Papua merdeka dilaksanakan dimana-mana bahkan di tingkat internasional. Tanpa mementingkan pentingnya harga diri manusia Papua,  para pimpinan pemerintah dan elit politik di tanah Papua menerima tawaran kedua yakni menerima Otonomi khusus[UU Otsus]. Salah satu cara pemerintah Indonesia, dalam UU tersebut membahas tentang Majelis Rakyat Papua [MRP]. Dalam posisi dan kedudukan MRP membahas sejumlah hak-hak dasar  rakyat Papua namun semua terbungkam, karena kepentingan. “ya Indonesia menjadi UU Otsus dan MRP sebagai tameng untuk membujuk 45 orang MRP itu. 

Dianggap UU Otsus tidak mampu meredam isu politik [konsep merdeka], maka cara ketiga yang di lakukan pemerintah Indonesia guna mempetahankan Papua dalam bingkai Kesatuan Indonesia adalah dengan materi Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Barat [UP4B]. program inipun tujuannya sama, maka cara lain di tempuh untuk meredam konsep”Merdeka” adalah Otonomi Plus. Empat cara ini tujuannya sama. 

Berangkat dari beberapa aspek kelemahan elit politik orang Papua, maka saya simpulkan bahwa,  Konsep ‘Merdeka”  berada dan terjepit antara 4 tahapan bentuk penjajahan, atau saya sering menyebutnya; PEPERA pertama, tahun 1969, PEPERA kedua UU OTSUS dan MRP, PEPERA ke-tiga UP4B, dan PEPEPRA ke-empat adalah OTONOMI PLUS. 

Selanjutnya, kembali soal pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode mendatang, mau mengatakan bahwa semua calon akan mengkampanyekan isu “KONSEP PAPUA MERDEKA”, merupakan isu politik yang subur guna meraup perhatian rakyat Papua. Antara para calon presiden yang digembar gemburkan orang Papua tidak bisa mengatakan dia baik atau si dia akan memerdekakan rakyat Papua. Contohnya PRABOWO… adalah komandan Kopasus  dan pencetus operasi militer di tanah Papua dan Aceh. Sekian ribuh nyawa warga sipil Papua hilang dalam operasi militernya.  JOKOWI,  adalah anak emas dari Bung Karno dan Bung HATTA, maka  nasionalisme Papua tidak ada dalam benak JOKOWI, yang ada hanyalah konsep MENG-INDONESIA_kan PAPUA sebagai bagian dari NKRI.  Sama juga dengan capres yang lain. 

Di akhir artikel ini mau mengatakan ada dua hal yakni; [1], yang bisa memerdekan Papua adalah orang Papua sendiri atas perjuangannya, [2]. Untuk mewujudkan konsep “MERDEKA”sebagai ideology bangsa Papua maka jangan cepat percaya atas isu kampanye  yang beragendakan “konsep Papua Merdeka”.

 M
asih hangat dalam Ingatan Kita, tanggal 9 April lalu adalah pesta demokrasi indoneisa. Ajang  mencari figur wakil rakyat,  dari pusat hingga di kabupaten/kota. Berbagai gerakan dilaksanakan dengan tujuan menyedot perhatian masyarakat. Tak ketinggalan pula para elit politik ikut berpartisipasi memberikan dukungan kepada para calegnya dengan  harapan memenangkan atau mempertahankan eksistensi Partai Politik di lembaga Parlemen. 

Money Politik. FOTO:Ils


Berbagai cara digunakan untuk memenangkannya, bahkan harta dan benda bahkan terkesan dijual-belikan. Tidak hanya itu, beberapa daerah kabupaten/kota para pejabat politik perjual-belikan/menawarkan jabatan kepada  kelompok yang tidak memiliki jabatan eselon dilingkungan pemerintah. Adalah suatu adegium klasik dalam percaturan politik. 

Kekwatirannya adalah dampak yang muncul lantaran eksen politik dipentas politik,  selama kurang lebih 2 minggu terakhir itu. Kita belajar beberapa pengalaman ketika kabupaten Deiyai sebelum di mekarkan, tepat pemilu (pileg) periode lalu. Banyak istri diceraikan, hubungan social yang erat menjadi retak, utang-piutang saling menuntut, tanah yang dihuni saling gugat mengugat. 

Ada beberapa catatan adat yang mestinya tidak boleh dilanggar, sudah tersingkir. Inilah kondisi yang kini terlihat di beberapa wilayah termasuk Kabupaten Deiyai.  Pergeseran nilai-nilai social terus berjalan, nilai manusia bisa ditukar dengan uang, nilai manusia disamakan dengan nilai sebuah kursi di lembaga parlemen. Berikut ini catatan buram sejak tanggal 7-15 April lalu….

Rumah saya dipinggir jalan raya. Setiap hari kendaraan terlihat bagaikan kota besar, ramainya kendaraan yang berkaca gelap memancing perhatian warga setempat sepanjang jalan (Gakokebo-Tenedagi-Debey). Biasanya setiap hari lintas Enarotali-Tigi Barat hanya beberapa kendaran yang mondar-mandir  mencari penumpang. Tak heran para caleg berkeliling mencari suara. Hamper warga yang berdiri disepanjang jalan mendapat sapaan, bahkan di kasih rokok dan uang, diamplopkan dengan triker. tidak hanya itu, nomor handpond pun diberikan, dengan pesan “jika ada suara sisa tolong kontak saya,”. Inilah kenyataan yang didapatkan selama pileg berlangsung. 

Memang aneh bagi perhati politik ataupun kalangan perhati kemasyarakatan yang lain, namun bagi kalangan elit politik ataupun pelaku politik hal itu wajar dan harus dilakukan guna memperoleh kemenangan dalam bursa pileg itu. Dalam tulisan ini saya tidak menguraikan lebar panjang akan tetapi sebatas memperjelas atas kalimat-kalimat sepanggal yang berkembang di beberapa grooub tanpa menjelaskan secara detail. Semoga bermanfaat bagi kita semua…..*******
OLEH: Frans Bobii

Bukan cerita belaka, adalah sebuah kenyataan yang dialami dan  merupakan mitos yang sangat sacral dirasakan oleh etnik Mee yang berdiam di wilayah perbatasan etnik Mee dan etnik Yerisyam di pesisir pantai Nabire, tepatnya Debaakebo menjadi tempat penyebaran sumber Api di seluruh pelosok Meuwodide.

Suatu waktu hiduplah dua orang bersaudara di wilayah Waysai, Menou. Kakaknya bernama Geimu dan adiknya bernama Ogeimu. Kedua bersaudara ini menekuni berburuh merupakan matapencaharian sehari-sehari,  Sebagai manusia purbakala.

Dalam  hutan belukar, seluruh buruan selalu dikonsumsikan apa adanya, tak dimasak (makan mentah). Apalah daya tak  mengenal api untuk mengolah makanan yang merupakan hasil buruan mereka. Begitulah kesukaran hidup. kondisi yang dirasakan dan dialami berkakak adik, yakni Geimu Kedeikoto dan Ogeimu Kedeikoto.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA2pFpQ6Fdont4p2MnUCxP66gaqK-EtO628DfynU1mFrqQ_zKYOUQOTaUv66-CZSqtss4kFHxiITO47c9m15o5aJmUyXm5hHdXMLYPCzfnC132E_kKfhGYCcNn48Pna7wtBnhtARKAQnY/?imgmax=800
Ilustrasi Api
Dalam kegempitan alam, suatu  hari Geimu mendengar bunyi dalam hutan rimba. Dirinya kaget mendengar gemuru bunyi tersebut. Geimu  berjalan kea rah bunyi tersebut. Semakin dekat bunyi tersebut. Ternyata didapatkannya dua dahang kayu bergesekan. Hasil gesekan  kedua dahang kayu tersebut terlihat keluarlah asap, dan “percikan kemerahan”. Tak lama kemudian, “percikan kemerahan”itu jatuh di tanah dan memancarkan “nyala api”. 

Tak sadar, dirinya terinspiasi untuk mengambil daun-daun kering masuk dalam percikan/ barah yang sedang berasap. Dan muncullah api yang bernyala besar.  

Selanjutnya Geimu mencoba meletakkan hasil buruan tersebut diatas api yang bernyala besar. Setelah terlihat masak ia mengkonsumsikan ternyata  nikmat/enak. 

Dirinya belum memahami api itu bermakna untuk apa. Sebelumnya tak diketahui  makna api,  makanan yang dikumpulkan dikonsumsikan/ dimakan menta. Inilah sebuah cerita asal usul dan penemuan Api, dimasa purkala yang kini menjadi mitos bagi etnik Mee. 

Setelah mengalami dan menyelami peristiwa teristimewa itu, Geimu hendak berpaling ke rumah, namun dipertengahan jalan terdengar bunyi tebang kayu, ternyata adiknya Ogeimu sedang membuat perahu dan sudah jadi  bentuk perahu. Setiba dimana Ogeimu membuat perahu langsung tarik perahu dan Ogeimu menyampaikan pesan sambil tarik perahu “Iyei-yeida Akano Akado”

Usai menyampikan pesan tersebut Ogeimu melemparkan se-untas tali yang sudah di pintal (puutu iyee gakimimakita). Diakhir kata-kata perpisahan Ogeimu menghilang entah kemana perginya.[1] Hingga saat belum ada cerita mitos bagi adiknya bahkan keturunanpun belum di getahui. 

Sepulang dari kejadian tersebut sesampaikan di rumah Geimu membakar hasil buruannya dengan api yang ditemukan di gunung Debaakebo.   

Beberapa lama kemudian ia naik ke sebuah kampung yang di huni oleh marga Magai, disana ia masuk di rumah  kepala suku. Namun saat itu tak ada pemilik rumah/tuan rumah. Dipetang hari datanglah sang pemilik rumah  sambil membawa hasil buruan (babi,  Kuskus). Geimu memperhatikan tuan rumah cara makan dan memotong babi, diambil jantungnya sedangkan dagingnya hendak dibuang. Namun Geimu menawarkan kalau ada cara lain untuk memasak daging buruan itu. 

Setelah itu Geimu mengambil Beko dan Mamo yang sudah disiapkan sebelumnya  dari noken, dan mencari dedaunan kering untuk mengalasnya. Selanjutnya  Beko di tindis dengan Mamo diatas daun kering. Lalu Geimu menindis ujung Mamo ditindis dengan kaki dan kedua ujung Beko dipegang dengan tangan. Akhirnya hasil gesekan Beko dan Mamo keluarkan asap api dan memunculkan bara api.
Selanjutnya setelah menjadi api, hasil buruan kepala suku Magai di masak dengan api yang di hasilkan oleh Geimu.  Keesokan harinya  kepala Suku Magai memberitahukan/mengumumkan kepada warganya kalau kita sudah diberikan api oleh Geimu. kepala Suku meminta agar warganya  mengumpulkan kekaya mereka (manik-manik dan seorang gadis) sebagai balas jasa atas pemberian Beko dan Mamoo sebagai sumber api. Manic-manik yang diberikan oleh warga Magai merupakan balas jasa atas kehadirannya untuk memperkenalkan api sedangkan, BEKO dan MAMOO sebagai alat pembayaran mas kawin, atas pemberikan seorang gadis yang dijadikan istri Geimu itu. 

Setelah mengambil sejumlah kekayaan yang diberikan termasuk gadis, kembali ke kampung Waysai. Hasil perkawinan antar kedua mempelai Geimu Kedeikoto dan Mama Magai tersebut belum diketahui berapa anak turunannya. Tidak sampai disitu, namun ia berhijrah ke timur melintasi gunung Wayland (Kobouge) hingga tiba di kampung Epomani (Beduu). Yang kerap kali di sebut dengan kampung Siriwo. [2]

Entahlah berapa lama perjalanan yang ditempuh hingga tiba di Epomani. Di situ ia bertemu dengan marga Uwiya. Disana juga ia menyebarkan api. Kondisinya sama bahwa warga setempat tidak mengenal api sehingga semua hasil buruan dimakan mentah. Geimo pun segera memperkenal api kepada warga Epomani.  Disitupun ia beristri dengan marga Uwiya. Hasil perkawinannya belum, namun sempat memiliki anak. 

Tak lama kemudian ia meninggalkan istri dan anak-anaknya, ia melanjutkan perjalanan kearah timur tenggarah, tiba di wilayah Ipiga (Beduu). Di situ ia juga bertemu dengan marga yang belum diketahui. Di Ipiga juga Geimu memperkenalkan api kepada warga  Ipiga. Di situ ia kawin dengan seorang gadis marga Donei. Hasil perkawinannya dikaruniakan seorang anak laki-laki yang diberi nama Dumapa.  Selanjutnya nama Dumapa menjadi marga Dumapa hingga kini. 

Setelah hidup beberapa tahun di Ipiga, anak sulung Dumapa bersama istriknya ditinggalkan dan berhijrah kearah timur tepatnya di Mugu-Mugu tembus ke Obano, dan menetap di Degeta. Di Obano ia kawin dengan seorang gadis marga Pigay. Hasil perkawinannya menurunkan 5 orang anak laki-laki. Dari cerita perjalanan api yang betul dihayati oleh anak bungsunya yang bernama DIIYEPAI KEDEIKOTO, yang beristrikan marga Pigai.  

Sesuai cerita  Geimu ayahnya, di wilayah Mapia ada saudara lain ditinggalkan di Mapia. Untuk mencari tahu tetuah ayahnya ia bersama istri menelusuri jejak ayahnya kembali ke Mapia. Sementara 5 saudara lainnya ditinggalkan disana (Obano). Sesampai di Ipiga, ditemui Dumapa, ternyata oleh warga Ipiga dijadikan marga yang sekarang dikenal marga Dumapa di lembah Kamuu. 

Perjalanan terus dilanjutkannya dari Ipiga, berbelok kearah Bomomani, menelusuri lereng gunung Wayland, hingga sampai di kampung Toubay. Disana DIYEPAI Kedeikoto menetap dan dikaruniai 2 orang anak laki-laki. Sesampai di Toubay diketahui bahwa marga Kedeikoto yang ditinggalkan oleh Geimu  di Waysai, Menou ternyata sudah menyebar hingga di Kampung Toubay dan sekitarnya.  Guna mencari tahu kebenaran atas keberadaan populasi marga Kedeikoto di Menou ternyata sudah cukup banyak. [3]




GEIMU berasal dari bahasa Mee logat Mapiha” GEI= sebutan wilayah Kamuu, Tigi dan Paniai oleh orang Mee asal Mapiha. Sedang Muu= tunas yang sedang tumbuh. Maka di jelaskan bahwa Api akan diperkenalkan kepada orang-orang Mee yang berdiam di Kamuu, Tigi dan Paniai.  Debaakebo adalah tempat menemukan asap api yang berasal dari gesekan dua dahang kayu, yang selanjutnya menjadi api di seluruh pelosok wilayah Meuwodidee. OGEIMUU=berasal dari dua kata yakni; OGEI dan MUU secara harafiah OGE artinya daerah yang tak bisa dijangkau oleh manusia karena hutan belantara atau tidak ada penghuni/penduduk. Misalnya antara pesisir dan pegunungan. MUU artinya tunas yang sedang bertumbuh kearah OGE.
IYEI-YEIDA AKANO-AKADOO mengandung artinya IYE= 9 (Sembilan) YEIDA= tahapan. Maka simpulkan bahwa kita akan bertemu pada generasi ke Sembilan. Dan akan melakukan pesta peristiwa penemuan kembali atas perpisahan kedua bersaudara yakni; GEIMO dan OGEIMO
[3] DIIYEPAI… diangkat dari sebuah nama kolam atau sumur alam yang ada di Obano, tepatnya di Degetaa. Tempatnya hingga saat ini dikeratkan oleh warga setempat. Sumber Bernardus Kedeikoto,S.Ag, Nabire 13 April 2014. Gunung Wayland, oleh suku Mee yang berdiam di Mapiha menyebut Gunung Kobouge. Gunung yang melintasi/ membatasi antara suku-suku dari pesisir Pantai dan manusia Suku Mee di wilayah Meuwodide.
 BEKOO, adalah belahan kecil dari bambo (tenei, idée) yang dijadikan sebagai alat gesek Mamoo. Sedangkan MAMOO adalah kayu khusus yang digunakan sebagai alas untuk melakukan gesekan dari Beko yang akan menghasilkan api. Ipiga nama sebuah kampung yang berada di antara Bedu dan Degeewoo. Degeuwoo bermuara dari kampung Bomomani, yang bersumber di kampung Ekagokunu, tepatnya ujung lapangan terbang Bomomani. Bomomani adalah ibukota Distrik Mapiha. Kini distrik ini sudah dimekarkan menjadi 4 Distrik diantaranya, Distrik
Mapiha Barat, Mapiha Timur, Mapiha Tengah dan Mapiha Selatan. Toubay salah satu kampung di puncak gunung Tatoupa, 
Waysai, adalah sebuah kampung tempat asal usul marga Kedeikoto, yang kini berkembang menjadi Distrik Menou dari Kabupaten Nabire, Papua. 
Kedeikoto mengandung arti harafiah, Kede= Dasar, inti, I= kebenaran, Koto= jembatan/penghubung.maka disimpulkan sebagai berikut Kedeikoto diartinya sebagai dasar yang dapat menghubung antara kebenaran.  


Jembatan rotan, Kali Kopaikaboo/ Yawei. (FOTO:Ils)

Proyek Pembangunan Pembangkit  Listrik Tenaga Air (PLTA)  Kopaibado, yang berkapasitas besar programkan Pemerintah Kabupaten Paniai, (sebelum Pemekaran Kab.Deiyai) terkesan terbengkalai. Pasalnya  proyek mega di Papua setelah PT.FI itu melakukan survey tanpa koordinasi masyarakat pemilik ulayat setempat.  Berikut catatan yang menapaki perjalanan proyek mega tersebut.

 Tahun 2007 program tersebut diusulkan oleh pemerintah Kabupaten Paniai, agar Kali Yawei yang bermuara ke Laut selatan itu bisa di gunakan kepentingan penerangan di sekitar wilayah Paniai, Timika dan Deiyai. Tak pelak gubernur Papua Barnabas Suebu, SH mengincar program tersebut. Ia menjadikan sebuah kegiatan perioritas. Bahkan sebelumnya ia (Gub. Bas) menjadikan isu politik ketika bersaing dengan Calon Gub. Lukas Enembe (red.gub. Papua sekarang). 

Proses berjalan terus, keserius pemerintah Provinsi terus perjuangkan dalam sejumlah pertemuan dan memperioritaskannya agar bisa selesaikan sebelum gubernus Bas meletakkan jabatan masa kepemimpinannya. Bukti seriusannya, semasa gubernur Barnabas Suebu, menganggarkan dana selama 5 tahun mencapai 850 miliar (red.data ada di DPRP Papua, Komisi D). 

Dalam kunjungan komisi D ke Kopaikabo, yang diketuai anggota DPRP Nasiona Uty, SE, didampingi staf ahli Komisi D, Apolo Samfanpo, ST.MT di pertengah tahun 2013, menyebutkan,  hasil pembangunan dari dana yang dianggarkan selama lima tahun masa kepemimpinan Barnabas Suebu, SH tidak menunjukkan hasil. Bahkan disana tidak ada sepotong besi atau tanda-tanda sentuhan pembangunan proyek mega tersebut.
PT.PPI yang menginves proyek itupun hingga saat ini belum memberikan tanggapan atas protes warga masyarakat pemilik Kopaikabo. Jelaslah bahwa dalam kegiatan megah ini tidak lepas dari perhatian  Dinas Energi dan Pertambangan, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pekerja Umum, baik tingkat Provinsi dan Kabupaten Paniai sebagai koordinasi atas program pembangunan jaringan listrik itu. 


Sementara terkait dengan hak ulayat, pihak Lembaga Adat Paniyai, Jhon NR. Gobay, merasa bahwa dirinya tidak dihargai oleh warga pemilik ulayat. Konon, terjadi mis komunikasi antara lembaga adat pemilik hak ulayat dan lembaga adat Papua kabupaten Paniai terjadi. 

Berangkat dari beberapa kalimat diatas ini sampai saat ini warga pemilik ulayat masih menungguh atas ketidakjelasan program/kegiatan tersebut. Bahkan, Lembaga Adat DIYOWEITOPOKE, masih berjuang untuk bertemu gubernur Papua, atas ketidakpastiannya.